Budaya organisasi dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada, karena organisasi adalah sebuah sistem yang terbuka, yang selalu berdaptasi dengan lingkungan agar dapat meraih tujuannya. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan sosial, politik, alam dan berbagai variabel lingkungan lainnya. Secara lebih spesifik budaya organisasi juga berbeda di setiap organisasi, tergantung visi, misi dan strategi organisasi dalam upaya mencapai tujuannya.
Terdapat enam sumber utama yang sangat mempengaruhi budaya organisasi. Pertama, budaya masyarakat atau budaya nasional di mana organisasi berada secara fisik. Kedua, visi, gaya manajerial, dan kepribadian para pendiri organisasi atau pemimpin yang dominan. Ketiga, macam bisnis yang digeluti dan nature of business environment. Keempat, struktur organisasi. Struktur organisasi misalnya struktur birokratis akan melahirkan pula budaya yang cenderung birokratis. Kelima, pelanggan. Perilaku pelanggan akan berpengaruh terhadap perilaku organisasi. Misalnya sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang media yang menerbitkan majalah remaja akan mempengaruhi perilaku anggota organisasi agar dapat memahami kebutuhan dan selera mereka. Keenam, tradisi warisan organisasi yang tercermin dalam nilai maupun artefak.
Berbagai sumber budaya organisasi ini menjadikan budaya setiap organisasi bersifat spesifik dan unik. Dari ancangan ini, maka budaya organisasi bersifat relatif dan tidak ada budaya yang baik atau buruk, tetapi yang ada adalah budaya itu sesuai atau tidak.
Hostfede misalnya, mengemukakan kenisbian budaya berdasarkan kebangsaan yang diidentifikasi dari empat indikator yaitu maskulinitas, penghindaran terhadap ketidakpastian, jarak kekuasaan (power distance), dan individualisme.
Misalnya untuk indikator power distance di Indonesia memperoleh skor yang tinggi (78) sementara Perancis 68, Jepang 54, dan Amerika Serikat 40. Berarti organisasi-organisasi di Indonesia cenderung memiliki jarak kekuasaan yang jauh antara pemimpin dan bawahannya, karena perbedaan kekuasaan yang lebar ini diterima dalam budaya masyarakat Indonesia.
Dalam menjelaskan relativitas budaya ini untuk Asia, contohnya diwakili organisasi bisnis Cina, dan perusahaan Jepang. Untuk menjelaskan relativitas budaya organisasi, pemilahan menjadi Cina Daratan dan Perantauan dapat menggambarkan besarnya pengaruh lingkungan dan waktu terhadap budaya organisasi.
Sementara Jepang menggambarkan budaya organisasi yang berbeda dengan Barat, ternyata juga dapat memberi kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan organisasi. Misalnya, konsep manajemen mutu dari Barat dinterpretasi ulang sesuai dengan budaya Jepang dan menghasilkan keunggulan daya saing.
Budaya Organisasi Cina : Daratan Dan Perantauan
Di Cina Daratan perubahan sistem politik telah melahirkan budaya yang khas.Budaya organisasi telah menjadi perhatian kalangan bisnis Cina sejak pertengahan dekade 80-an. Mereka mengembangkan budaya organisasi yang khas Cina, dengan menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif. Lahirlah identitas perusahaan Cina yang unik, yang mencerminkan budaya tradisional Cina dan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh perubahan sosial politik dan ekonomi yang sangat cepet
Perbedaan terbesar struktur organisasi perusahaan Cina dan perusahaan Barat terutama adanya sistem manajemen paralel. Yaitu sistem administrasi dan struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di lingkungan Partai Komunis yang disebut sistem dua kendali.
Sementara ciri yang menonjol dari Overseas Chinese Family Business (OCFB) adalah terjadinya hibridisasi antara modernis barat dan tradisionalis timur yang mempengaruhi nilai-nilai dan aspek lain dari budaya.
OCFB melakukan pendekatan secara eklektik ide-ide barat maupun ide-ide timur, yang bercirikan jejaring entrepreneurial berlandaskan ketrampilan dalam membangun kepercayaan dan fleksibilitas yang dapat menjadi modal organisasi virtual dan post modern yang berhasil di abad keduapuluhsatu di Barat.
Hibridisasi nilai-nilai dari kedua budaya merupakan ciri khas sekaligus merupakan salah satu keunggulan budaya OCFB. Apalagi juga menyerap nilai dan budaya dari masyarakat setempat, yang mempermudah dalam beradaptasi dan mengembangkan usaha dalam konteks budaya dimana mereka berada.
Jepang
Falsafah manajemen Jepang adalah falsafah manajemen yang mengantisipasi perubahan, peka terhadap perubahan, serta melakukan perbaikan-perbaikan dengan pendekatan yang khas.
Falsafah kerja Jepang menganggap bahwa cara hidup, cara bekerja, kehidupan sosial, rumah tangga, dan segala sesuatu harus disempurnakan setiap saat. Jadi penekanan falsafah kerja Jepang adalah pada upaya-upaya perbaikan, terutama agar dapat menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan bisnis. Dalam menganut falsafah tersebut dituntut kepekaan terhadap perubahan. Tujuannya agar tidak terlena oleh keadaan yang mapan dan statis, senantiasa merubah dan berubah (melakukan perubahan ke arah yang positif/perbaikan), agar ketahanan bisnis terhadap perubahan lingkungan terjamin.
Manajemen Jepang telah mengikuti falsafah yang berintikan penyempurnaan/perbaikan yang terus menerus. Bahkan falsafah ini telah tertanam sedemikian rupa dalam pikiran manajemen serta karyawan, yang tertuang dalam Kaizen.
Jadi budaya organisasi yang tepat tidak harus selalu Western oriented
Saat ini kita berada pada era pengetahuan, era di mana orang makin menyadari pentingnya peran dan pengetahuan, baik yang bersifat tidak berwujud (pengetahuan tacit) maupun yang sudah dipraktekkan dalam kehidupan (pengetahuan eksplisit), sehingga potensi manusia menjadi sangat penting di dalam membangun suatu organisasi belajar, yang anggota-anggotanya memiliki kemauan dan kemampuan untuk terus meningkatkan pengetahuannya serta bekerja dan belajar bersama dengan anggota organisasi yang lain.
Penelitan ini fokus pada proses transformasi potensi sosial individu menjadi modal sosial kelompok. Proses transformasi ini membutuhkan suatu media yang menjadi habitat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya pengetahuan yang sinergistik. Senge (1990) mengungkapkan 5 disiplin yang harus dipenuhi agar suatu organisasi dapat menjadi organisasi belajar, yaitu penguasaan pribadi (personal mastery), model mental (mental models), berbagi visi (shared vision), berpikir sistemik (system thinking), dan pembelajaran tim (team learning). Selain itu, anggota organisasi hanya mau menyumbangkan potensi insaninya bagi kepentingan organisasi jika terdapat budaya kerja yang kondusif untuk itu. Budaya perusahaan yang penuh dengan keterbukaan dan rasa saling percaya, bebas dari rasa saling curiga dan rasa takut, serta kondusif bagi proses berbagi pengetahuan yang sinergistik, biasanya dikenal sebagai budaya yang tansformasional.
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa modal sosial kelompok hanya akan dapat terbentuk dari potensi sosial individu yang bekerja di dalam suatu lingkungan belajar yang kondusif dan di dalam budaya yang transformasional. Berdasarkan dari data yang terkumpul dari 3 perusahaan Indonesia, yang terdiri dari 41 kelompok kerja, ternyata hipotesis ini belum dapat sepenuhnya dibuktikan. Hal ini dikarenakan kualitas lingkungan belajar yang kurang memadai di ketiga perusahaan tersebut. Penelitan ini baru bisa membuktikan bahwa:
1. Potensi sosial individu tidak dapat secara langsung membentuk modal sosial kelompok.
2. Potensi sosial individu dapat membentuk modal sosial kelompok jika bekerja di dalam budaya yang transformasional.

bermanfaat tks